Sekilas kelahiran IPNU, 1954
Tahun 1373 H. atau bertepatan dengan 1954 M. adalah babakan new era bagi perjalanan generasi muda NU yang tergabung dalam IPNU. Sebelum menggunakan nama IPNU, kegiatan mereka di berbagai tempat bermacam-macam. Sebagian melakukan rutinitas keagamaan, seperti tahlilan, yasinan, diba’/ berjanji, dst. Kelompok pelajar seperti itu lebih banyak ditemui di pesantran-pesantren dan di kampung-kampung. Sebagian lagi, kelompok muda NU mengadakan di Sekolah-Pesantren, Sekolah Umum dan Perguruan Tinggi. Sekalipun tergolong masih kecil jumlahnya.
Pendirian IPNU pada tahun tersebut, bukan tanpa proses. Beberapa kegiatan yang telah disebut di atas. Sisi lainya adalah dengan melalui musyawarah yang intensif, antara para kyai pesantren, pengurus NU dan lembaga pendidikan Ma’arif NU. Termasuk yang tak kalah pentingnya adalah kontribusi pemikiran aktivis kaum pelajar NU, lebih khusus di Pesantren atau Sekolah.
Pilihan nama organisasi juga melalui proses. Bukti historis proses tersebut sebagai berikut: beberapa tahun sebelumnya terdapat keragaman nama bagi perkumpulan pelajar NU, seprti Tsamratul Mustafidin di Surabaya tahun 1936, PERSANO (Persatuan Santri Nahdlotul Oelama) tahun 1945, Persatuan Murid NU tahun 1945 di Malang, Ijtima-ulth Tholabiyyah tahun 1945 di Madura, ITNO (Ijtimatul Tholabah NO) tahuan 1946 di SUmbawa, PERPENO (Persatuan Pelajar NO) di Kediri 1953, IPINO (IKatan Pelajar NO) dan IPENO tahun 1954 di Medan, dll.
Mengingat perkumpulan tersebut satu sama lain kurang saling mengenal, karena kelahiran mereka atas inisiatif dan kreatifitas mereka sendiri. Maka, maka dibutuhkan wadah yang sama dan satu induk. Satu hal yang sewarna dan sejalan adalah pijakan pada dasar keyakinan Islam Ahlusunnah Wal jama’ah. Juga atas dasar kebersamaan dan persatuan (ukhwah) sesama umat Islam pemegang tradisi. Karena itu, IPNU merupakan induk dan satu-satunya organisasi NU yang menangani kaum muda NU tingkat pelajar NU, termasuk di Perguruan Tinggi.
Tepat tanggal 24 Pebruari 1954 M. bertepatan dengan 20 Jumadil Akhir 1373 H. di Semarang, pada konferensi besar Ma’arif NU se-Indonesia menyepakati nama IPNU, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama sebagai satu-satunya wadah berhimpun dan berkreasi Pelajar, Mahasiswa, Santri dan remaja baik di Pesantren, Madrasah/sekolah maupun Perguruan Tinggi. Gagasan ini dipelopori oleh Tolhah Mansur (Fak. Hukum UGM), Fadlan AGN ( Fisipol UGM ) dari Jatim, Mustahal Achmad Masyhud (Solo) Sufyan Kholil dan Abdul Ghoni Farida (Semarang) yang pada akhirnya dalam Konferensi tersebut Mohammad Tolchah Mansur ditetapkan sebagai ketua ummnya. Gagasan tersebut muncul karena memandang perlunya penyatuan elemen gerak berbagai organisasi pelajar NU dalam satu wadah agar lebih solid. Sejak saat itu, upaya pengembangan cabang terus dilakukan hingga berdiri lima cabang yang dikenal dengan PANCA DAERAH (Jombang, Solo, Kediri, Semarang dan Yogyakarta )
Menindaklanjuti ketetapan Konbes Ma’arif itu, para pengurus mengadakan konferensi lima daerah; Yogyakarta, Semarang, Surakarta, Jombang dan Kediri. Di Surakarta tanggal 29 April – 1 Mei 1954. putusan-putusan penting pun dihasilkan; selain merumuskan tujuan, PD PRT, juga menetapkan Tolchah Mansur sebagai ketua umum Pimpinan Pusat IPNU dan menetapkan kota Yogyakarta sebagai kantor pusat organisasi. Mendapat pengakuan resmi sebagai bagian NU pada Muktamar ke 20 di Surabaya, 9-14 September 1954, setelah ketua umum menyampaikan gagasan IPNU dihadapan peserta Muktamar NU.
Untuk memperkokoh organisasi, IPNU melaksanakan Muktamarnya (baca: Kongres) yang pertama pada tanggal 28 Februari 1955 di Malang Jawa Timur. Ikut hadir dalam perhelatan Nasional itu adalah presiden RI Soekarno. Hal ini juga sekaligus pengukuhan IPNU sebagai bagian organisasi pemuda di Indonesia. IPNU pun mulai populer di tengah masyarakat Indonesia. Lebih-lebih, surat kabar dan radio memberitakan pidato Bung Karno pada Muktamar IPNU tersebut.
Sebagai organisasi pelajar dan terpelajar, beberapa tokoh pendiri IPNU adalah orang-orang yang masih berpendidikan, seperti Mohammad Tolchah Mansur (mahasiswa UGM Yogyakarta), dan Ismail (mahasiswa IAIN Sunan Kalijogo Yogyakarta). Di daerah-daerah juga, para pengurus IPNU saat itu banyak yang dipegang oleh para mahasiswa, seperti Mahbub Djunaedi dan M. Sahal Makmun di Jakarta (mahasiswa UI). Beberapa kader IPNU lainya di Pesantren adalah Abdurrahman Wahid dari Jawa Timur (Ketua Tanfidziyah PBNU 1984-1999) dan Ilyas Ru’yat dari Jawa Barat (Rais ‘Am 1994-1999).[Sumber: ipnu-sumedang.blogspot.com]والله أعلم بالصواب
Tidak ada komentar:
Posting Komentar